Selasa, 26 November 2019

Mendewasakan raas-a

Siang itu menjadi siang hari yang begitu menyengat bagiku, bukan karena cuaca yang tidak bersahabat, bukan juga karena aku memakai baju tebal di siang bolong. Namun karena isi dari pesan yang dikirimkan seorang pria di sebrang sana. Pria yang selama ini aku anggap separuh dari aku yang hilang. Pria yang selalu aku prioritaskan. Pria yang tidak pernah membuat air mata ini tumpah karena duka. Pria dengan wajah teduh yang selalu menyemangati, yang dengan bahunya semua sedih ini berlabuh.

Tidak pernah terbayang ada badai yang sanggup merusak taman indah penuh perawatan. Entah apa rencana tuhan yang dengan cepatnya petir menyambar tanpa ada tanda.

"aku mau kita putus"
"kenapa?"

Tidak ada penjelasan yang benar- benar masuk logika manusia. hingga saat ini.

Tidak dapat dipungkiri, hati ini yang buatan tuhan saja rasanya remuk. Jangan tanyakan lagi air mata seperti apa yang tumpah. Untuk menangis pun sudah tidak ada rasanya. Layaknya zombie yang dipaksa hidup kembali. Ya, memang seberlebihan itu. Mungkin kau disebrang sana dapat bernafas lega karena sudah melepas sebagian beban dalam hidupmu.

Hitungan hari aku masih saja bermata sembab, hitungan bulan sudah ada sedikit senyum dan mau bertemu orang lain, namun kau tidak pernah dengan sungguh-sungguh pergi dari memori ini. Kau masih saja dengan berani terus berlarian tanpa aku minta.




Tepat sepekan yang lalu, aku memberanikan diri mengenakan baju berwarna pink pemberian darimu. Indah rasanya ketika mengingat dengan teliti engkau memilihkannya untukku sambil menunggu tepat di depan pintu fitting room. Dan,

Itulah kesalahan besarku. Teringat jelas, luka bekas sebabmu tak tertahankan ketika aku berusaha melepaskan baju pemberianmu. Seakan perlahan kenangan bersama terus tumbuh dan bersemayam di tubuhku.

Tepat sudah 6 bulan kau membiarkan duka ini kehilangan sandarannya. Air mata ini kehilangan penghapusnya. Tangan ini kehilangan genggamannya. Terhitung lama setelah kau memilih pergi, sela jari kanan selalu mengisi yang kiri agar supaya aku ingat bagaimana rasanya pertama kali kau menitipkan jarimu agar jika terasa renggang, bisa terus erat digenggam. Rasanya memang sulit. Namun keyakinanku untuk bangkit lebih besar dari rasa sakitku.

Kau memang meremukkan hati. Namun aku tidak lupa, kau jugalah yang pernah menebar pelangi tanpa cacat. 

Antara berterimakasih dan memaki (?) aku memilih berterimakasih.

Karena kau, aku mengerti arti kesabaran dan keikhlasan. Bahwa tidak semua perlakuan baik bisa dibalas dengan kebaikan juga. Aku paham bahwa keinginanku untuk memilikimu sepenuhnya sudah melanggar batas kewajaran. Sampai-sampai aku lupa hidupku bukan cuma tentang kamu.

Sempat memiliki mimpi bersama, bercengkrama tentang impian masing-masing, saling mengingatkan. Namun aku lupa satu hal bahwa sebenarnya aku tidak pernah ada dalam rencana masa depanmu. Itulah yang membuatku paham mengapa tuhan memisahkan. 

Ada yang lebih segalanya yang sudah disiapkan. Aku hanya perlu bersiap.

Mendewasakan raas-a

Siang itu menjadi siang hari yang begitu menyengat bagiku, bukan karena cuaca yang tidak bersahabat, bukan juga karena aku memakai baju teba...