Kamis, 27 April 2017

Strategi Penyebaran Paham ASWAJA Di Kampus Umum


Strategi Penyebaran Paham Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) Di Kampus Umum

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah

Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) adalah postulat dari ungkapan Rasulullah SAW,“Ma Ana ‘Alaihi Wa Ashabi”. Yang berarti,golongan yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana diajarkan dan diamalkan Rasulullah SAW beserta sahabatnya. Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keIslaman.

Seiring berkembangnya ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) sebagai aliran pemikiran yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan umat Islam, berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru dunia, di mana banyak masing-masing kelompok atau organisasi Islam baik di kalangan masyarakat maupun di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi menggunakan ideologi Aswaja. Walaupun banyak juga yang hakikatnya bukan termasuk ajaran Islam Aswaja mengaku Aswaja.
Organisasi Islam di kalangan Masyarakat khususnya di Negara Indonesia yang menghegemoni paham Islam Ahlussunah Wal Jama'ah (ASWAJA) yaitu Nahdlotul 'Ulama yang didirikan oleh ulama-ulama dan dipelopori oleh KH.Hasyim Asya'ri, dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah Wal Jama'ah di Indonesia.

Dan salah satu organisasi Islam di kalangan mahasiswa atau perguruan tinggi yang menggunakan ideologi Aswaja sebagai basis adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang tercatat dalam sejarah sejak lahirnya organisasi tersebut pada, 17 April 1960 di Surabaya. Dan dalam sejarah itu juga tercatat, PMII berbeda dengan organisasi Islam di kalangan perguruan tinggi lainnya atas dasar basis ideologi tersebut, dengan watak ke Islamannya yang mendalam dan citra ke Indonesiaannya yang matang.

Menelisik alasan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menjadikan Aswaja sebagai basis ideologinya, karena pada saat itu salah satu keinginan Mahasiswa Nahdliyin untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berbasis ideologi Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Mengingat pentingnya Aswaja untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia akademika atau kampus.

Namun, melihat realita yang ada saat ini, tidak sedikit kampus-kampus yang terhegemoni paham Non Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA), terlebih di kampus umum. Mirisnya lagi, paham yang masuk kebanyakan adalah paham-paham yang ekstream atau radikal, yaitu salafy ikhwani, salafy yamani, haraki, dan paham salafy yang ekstream lainnya. Entah kenapa paham Islam yang radikal itu sangat masif tumbuh dan berkembang, hingga terlihat kader PMII dan warga Nahdliyin umumnya yang jelas menghegemoni paham Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) tertinggal dan terpinggirkan dalam kampus.

Pertumbuhan dan perkembangan paham Islam yang ekstream atau radikal itu mendapatkan respon yang beragam dari berbagai pihak. Ada yang memberikan respons positif dengan mendukung, ada yang memberi respon reaktif-emosional, ada yang memberikan respon kreatif, dan ada juga yang merespon secara anarkis. Sejauh ini, respon yang diberikan belum membendung, apalagi menghentikan laju pertumbuhan gerakannya. Justru ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah anggota pada berbagai organisasi kemahasiswaan Islam yang pahamnya ekstream tersebut.

Tidak menutup kemungkinan, jika hal seperti ini tidak cepat teratasi, maka akan benar-benar hilang, bukan lagi tertinggal atau terpinggirkan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) tersebut di dunia kampus. Dan eksistensi paham Islam yang ekstream atau radikal itu sesungguhnya bukan hanya merupakan ancaman bagi organisasi kemahasiswaan Islam saja, tapi juga ancaman bagi masa depan Islam Indonesia. Idealnya Islam Indonesia merupakan Islam yang dikenal dengan karakter ramah, toleran dan humanis. Dinamika dan pertumbuhan Islam di Indonesia selama ratusan tahun menunjukkan bahwa Islam toleran dan damai, dapat hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia.(1Wasid Mansyur, Menegaskan Islam Indonesia, Belajar dari Tradisi Pesantren dan NU, (Surabaya: Pustaka Idea, 2014), h. 41)

Dalam kerangka inilah organisasi kemahasiswaan Islam arus utama (mainstream) terkhusus kader-kader PMII di berbagai kampus, merasakan perlu untuk memberikan respon aktif-kreatif-konstruktif, agar paham Islam yang radikal itu tidak semakin menancapkan akar pengaruhnya. Infiltrasi gerakan Islam radikal dilakukan secara masif, khususnya terhadap generasi muda yang masih menduduki bangku perkuliahan, terlebih di kampus-kampus umum yang sedikit menerima materi dan pemahaman agama Islam, namun dengan begitu tidak mengecualikan kampus-kampus agama Islam.
Pilihan terhadap generasi muda ini cukup strategis, karena generasi muda yang masih menduduki di bangku perkuliahan pada umumnya belum memiliki pengalaman matang dalam persoalan keagamaan. Mereka mudah untuk didoktrin dengan ideologi tertentu. Generasi muda yang direkrut ke dalam kelompok paham Islam yang ekstream atau radikal itu biasanya sangat ideologis dan siap berjuang dengan kompensasi apapun demi menjalankan visi dan misi organisasinya.

Oleh karena itu, salah satu upaya kader PMII khususnya yang berada di kampus-kampus, yang menjadi benteng pertahanan terakhir paham Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) untuk mencegah pertumbuhan dan perkembangan paham Islam yang ekstream atau radikal itu adalah dengan strategi khusus yang terstruktur dan sistematis, agar memungkinkan generasi muda yang ada di kampus-kampus, yang masih menduduki bangku perkuliahan khususnya dapat mengetahui dan memahami persoalan dengan lebih baik lagi, dan menjadi suplemen kuat benteng Ahlussunnah Wal Jama'ah di kalangan perguruan tinggi.

B. Rumusan Masalah
1. Sejarah munculnya Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
2. Sejarah munculnya Ahlussunah Wal Jama'ah (ASWAJA) Di Indonesia
3. Strategi penyebaran paham Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) di kampus umum
  
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)

Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA), Ahlussunnah berarti ahli sunnah atau pengikut ajaran sunnah Nabi Muhammad SAW. Sementara, Jama’ah yang dimaksud merujuk pada jama’ahnya Nabi Muhammad SAW yang tak lain adalah para sahabat dan generasi selanjutnya seperti tabi’in, tabi’it tabi’in, termasuk imam empat madzhab (ada yang mengklasifikasikan sebagai tabi’in dan ada juga yang mengklasifikasikan sebagai tabi’it tabi’in) atau salafush shalih, hingga generasi berikutnya yang punya ikatan madzhab dengan generasi salafush shalih.

Setelah mengetahui arti atau makna Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) dalam perspektif bahasa, sekarang coba kita bedah historisitas Aswaja dari zaman ke zaman untuk mengetahui titik terang bagaimana sebetulnya Aswaja terbentuk hingga menjadi salah satu madzhab yang menjadi rebutan para kelompok Islam di dunia. Karena banyak organisasi Islam bermunculan yang kemudian masing-masing mengklaim bahwa merekalah penganut Aswaja.

Secara garis besar historisitas Aswaja terbagi menjadi tiga fase besar. Pertama, fase teologis. Kedua, fase sosial-politik. Ketiga, fase madzhab. Fase madzhab juga berarti fase aliran atau ideologi. Ini hanyalah formula ilmiah kesejarahan yang dibuat secara pribadi, sehingga pembaca boleh setuju atau tidak. Yang jelas, klasifikasi fase Aswaja ini dibuat untuk memudahkan pemahaman terhadap roadmap sejarah munculnya Aswaja.

Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul kurang lebih pada usia 40 tahun. Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW yang kemudian dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi.

Pada fase teologi substantif ini, kalimat Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) sama sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “Ahlussunnah Wal Jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti “Ahlussunnah Wal Jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja.

Selanjutnya adalah fase teologi formal.  Tercatat ada 3 hadits, 2 diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan 1 oleh Imam Tabrani. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma Ana ‘Alaihi wa Ashabi" jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah Wal Jama’ah.

Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad SAW menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat. Hadits ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzhab Aswaja. Bunyi haditsnya adalah “Ma Ana Alaihi Wa Ashabi” di mana arti harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”

Fase ini dinamakan fase teologi formal. Sebab, Nabi sudah mengumumkan Aswaja sebagai aliran Islam yang akan selamat secara formal-resmi kepada umatnya. Meskipun demikian, kata “Ahlussunnah Wal Jama’ah” sama sekali tidak disinggung dalam peristiwa ini, sehingga hanya sebagai basis ajaran atau teologi saja. Dengan alasan inilah, dinamakan sebagai fase teologi formal dalam lintasan historisitas Aswaja.

Selanjutnya, membahas historisitas Aswaja pada fase sosial-politik. Peristiwa ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad SAW wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H, 64 tahun), tokoh Mu'tazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzhab baru dengan semangat “Ma Ana 'Alaihi Wa Ashabi”. Pengikut madzhab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Seiring populernya ajaran ini, Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 Masehi, sehingga pemahaman ini mudah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk India, Pakistan, Afghanistan, sampai ke Indonesia.

Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “Ma Ana 'Alaihi Wa Ashabi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Islam.

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad SAW sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi Muhammad SAW.
Pasca Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad SAW bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negara Islam pasca Nabi Muhammad SAW wafat.
Sejak kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali bin Abi Thalib, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.
Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdullah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut imam Ali bin Abi Thalib. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali.(Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi” h. 18)
Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya yaitu hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.
Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah bin Thalhah.(Ibid h.25)
Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik, terlebih masa Yazid bin Muawiyah.
Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.
Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Dengan mengambil kutipan ayat Al-Qur'an yang berbunyi, "Wa Maa Romayta Idja Romayta Walakinallaha Romaa", artinya : "Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, tetapi Allah lah yang memanah". Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.
Beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.
Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah SWT tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk melegitimasi aliran ini adalah QS. Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah kehendak Allah SWT. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abbas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran Mu’tazilah.
Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.
Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murji'ah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.(Tgk. H. Z. A. Syihab. “Akidah Ahlussunnah”.h. 12)
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzhab atau aliran baru dengan semangat “Ma Ana 'Alaihi Wa Ashabi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari. Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah Wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah SWT.
Dalam hal ini juga, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan semangat “Ma Ana 'Alaihi Wa Ashabi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunnah Wal Jama'ah kemudian kita kenal dengan imam empat madzhab, yakni Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.
Imam Hambali menjadi korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama kali adalah Imam al Gazhali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.
 Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) adalah postulat dari ungkapan Rasulullah SAW,“Ma Ana ‘Alaihi Wa Ashabi”. Yang berarti, Aswaja adalah golongan yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana diajarkan dan diamalkan Rasulullah SAW beserta sahabatnya. 
Dan Aswaja adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya Aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keIslaman.
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi Muhammad SAW wafat .
Postulat dari ungkapan Rasulullah SAW, "Ma Ana Alaihi Wa Ashabi", menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Pernyataan Nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka “Ma Ana ‘Alaihi wa Ashabi” atau Ahlussunnah Wal Jama’ah lebih kita artikan sebagai “Manhaj Au Thariqoh Fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha” ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Seiring berkembangnya ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) sebagai aliran pemikiran yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan ibadah-rohaniyah umat Muslim, Islam Aswaja atau orang juga populer menyebutnya Sunni berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru dunia di mana masing-masing kelompok Islam menggunakan ideologi Aswaja. Salah satu kelompok atau perkumpulan Islam yang menganut Aswaja sebagai ideologi dan metode berpikir. Fase ini kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase ini, Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhaj al fikr bagi perkumpulan atau organisasi keIslaman. Dalam fase ini pula, banyak organisasi yang kemudian saling klaim bahwa dirinya adalah organisasi Islam bermadzhab Aswaja.
B. Sejarah Masuknya Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) Di Indonesia
Masuknya Aswaja di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Secara historis Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 (salah satu pendapat). Hal ini dapat dibuktikan dalam arkeologi dengan munculnya makam-makam di daerah barat di Nangroe Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Bani Umayah. Serta kabar dari Cina mengenai kedatangan Ta-Cheh di daerah Kalingga (Holing) pada masa pemerintahan Szima.
Kedatangan Aswaja sendiri dari perspektif historis dapat dibuktikan dengan adanya bukti-bukti sejarah yang ada, mulai adanya kabar dari Ibnu Batuta mengenai Islam yang ada di Indonesia, nama-nama raja Samudra Pasai yang cenderung sesuai dengan nama raja yang beraliran Syafi’i di Timur Tengah serta ditemukannya makam Siti Fatimah binti Maimun Leran Gresik, pada abad XI ditambah pula dengan cerita atau babad dari raja-raja tanah pada raja-raja Sunda (Banten) yang cenderung beraliran Syafi’i.
Kecenderungan Aswaja yang beraliran Syafi’i khususnya di Indonesia, hal ini apabila diperhatikan lebih kapada setting kedatangan Islam di Indonesia, yang ternyata Islam datang kebanyakan berasal dari daerah Hadramaut dan Yaman, bukan berasal dari Persia yang cenderung bermadzhab Hanafi.
Sebagaimana dimaklumi Islam dikembangkan di Indonesia oleh para pedagang. Sambil berdagang para mubaligh ini menyelenggarakan pesantren-pesantren untuk membentuk kader-kader " 'Ulama " yang sangat beperan dalam pengembangan Islam pada masa berikutnya. Dan salah satu tradisi dalam proses pengajaran agama Islam di pesantren adalah tradisi pengajaran melalui kajian kitab-kitab klasik atau yang saat ini kita kenal dengan “Kitab Kuning”.
Di Jawa berdasarkan bukti sejarah para penyebar dan pembawa Islam khususnya daerah pesisir utara adalah para mubaligh yang diberi gelar para wali, yang sangat popular disebut Wali Songo. Sesuai dengan faham Islam yang dianutnya yaitu faham Ahlussunah Wal Jama’ah para wali dalam misi dan dakwahnya selalu menerapkan prinsip tawasut, tasamuh, tawazun, dan i’tidal atau ta'adul. Karakteristik ini tercermin dalam segala bidang baik aqidah, syari’at, akhlak,dan mu’amalah diantara sesama manusia. Dengan prinsip-prinsip ini cara Islamisasi di Indonesia ditempuh melalui cabang seni budaya seperti pertunjukan wayang gamelan dan seni ukir.
Adat istiadat dan kebiasaan yang telah berakar dalam masyarakat juga dijadikan salah satu media dakwah. Kebiasaan sendiri dan keselamatan untuk orang-orang yang telah meninggal dunia tetap dilestarikan dengan warna keIslaman. Mereka mengajarkan agama Islam dengan lemah lembut. Tanpa kekerasan menggunakan bahasa dan budaya yang telah dimiliki oleh masyarakat.
Keramah-tamahan dalam berdakwah inilah yang menyentuh nurani bangsa dan mempertandakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, membawa persahabatan sesama umat semesta alam. Dan keramah-tamahan inilah yang diwariskan para ‘Ulama Aswaja untuk diteladani dalam mengajarkan agama Islam. Demikian pula NU dalam anggaran dasar secara eksplisit dirumuskan bahwa tujuan NU adalah mengembangkan serta melestarikan ajaran Islam Ahlussunah Wal Jama’ah.
Model Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah inilah yang kemudian mendorong organisasi kemasyarakatan untuk bervisi sosial keagamaan, yakni Nahdlotul 'Ulama (NU) yang sampai sekarang masih memegang teguh identitas tersebut sebuah nilai, ideologi, dan doktrin kedisiplinan. Dan dalam kalangan kamahasiswaan atau perguruan tinggi PMII adalah bagian dari dinamika ke NUan di kalangan pemuda, terutama Mahasiswa.
 Dengan terbentuk NU inilah, menggunakan doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah yang dimotori oleh KH.Hasyim Asy'ari. Dengan secara tekstual menjadikan Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai landasan utamanya. Dan Fiqih/Ushul Fiqih ( Ijma', Qiyas, dan Maslahatul Mursalah) sebagai landasan kontekstualnya. Sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, dan pemikiran. Maka tidak ada yang lain, pola fikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madharat) dan mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum "Al Muhafadzotu 'Ala Qodimissolih, Wal Akhdzu Bil Jadidil Aslah ", yakni " Menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan sesuatu baru menjadi lebih baik ".
C. Strategi Penyeberan Paham Ahlussunah Wal Jama'ah Di Kampus Umum
Melihat realita yang ada saat ini, tidak sedikit kampus-kampus yang terhegemoni paham Non Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA), terlebih di kampus umum. Mirisnya lagi, paham yang masuk kebanyakan adalah paham-paham yang ekstream atau radikal, yaitu salafy ikhwani, salafy yamani, haraki, dan paham salafy yang ekstream lainnya. Entah kenapa paham Islam yang radikal itu sangat masif tumbuh dan berkembang, hingga terlihat kader PMII dan warga Nahdliyin umumnya yang jelas menghegemoni paham Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) tertinggal dan terpinggirkan dalam kampus.
Pertumbuhan dan perkembangan paham Islam yang ekstream atau radikal itu mendapatkan respon yang beragam dari berbagai pihak. Ada yang memberikan respons positif dengan mendukung, ada yang memberi respon reaktif-emosional, ada yang memberikan respon kreatif, dan ada juga yang merespon secara anarkis. Sejauh ini, respon yang diberikan belum membendung, apalagi menghentikan laju pertumbuhan gerakannya. Justru ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah anggota pada berbagai organisasi kemahasiswaan Islam yang pahamnya ekstream tersebut.
Tidak menutup kemungkinan, jika hal seperti ini tidak cepat teratasi, maka akan benar-benar hilang, bukan lagi tertinggal atau terpinggirkan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) tersebut di dunia kampus. Dan eksistensi paham Islam yang ekstream atau radikal itu sesungguhnya bukan hanya merupakan ancaman bagi organisasi kemahasiswaan Islam saja, tapi juga ancaman bagi masa depan Islam Indonesia. Idealnya Islam Indonesia merupakan Islam yang dikenal dengan karakter ramah, toleran dan humanis. Dinamika dan pertumbuhan Islam di Indonesia selama ratusan tahun menunjukkan bahwa Islam toleran dan damai, dapat hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia.(1Wasid Mansyur, Menegaskan Islam Indonesia, Belajar dari Tradisi Pesantren dan NU, (Surabaya: Pustaka Idea, 2014), h. 41)
Dalam kerangka inilah organisasi kemahasiswaan Islam arus utama (mainstream) terkhusus kader-kader PMII di berbagai kampus, merasakan perlu untuk memberikan respon aktif-kreatif-konstruktif, agar paham Islam yang radikal itu tidak semakin menancapkan akar pengaruhnya. Infiltrasi gerakan Islam radikal dilakukan secara masif, khususnya terhadap generasi muda yang masih menduduki bangku perkuliahan, terlebih di kampus-kampus umum yang sedikit menerima materi dan pemahaman agama Islam, namun dengan begitu tidak mengecualikan kampus-kampus agama Islam.
Oleh karena itu, salah satu upaya kader PMII khususnya yang berada di kampus-kampus, yang menjadi benteng pertahanan terakhir paham Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) untuk mencegah pertumbuhan dan perkembangan paham Islam yang ekstream atau radikal itu adalah dengan strategi khusus yang terstruktur dan sistematis, agar memungkinkan generasi muda yang ada di kampus-kampus, yang masih menduduki bangku perkuliahan khususnya dapat mengetahui dan memahami persoalan dengan lebih baik lagi, dan menjadi suplemen kuat benteng Ahlussunnah Wal Jama'ah di kalangan perguruan tinggi.
Yang paling utama untuk menghidupkan nilai Aswaja di lingkungan Kampus adalah menata niat. Niatkan untuk Lii’la-i kalimatillah (meninggikan kalimat Allah). Karena saat ini PMII terjerumus dalam pemikiran yang sangat pragmatis. Pragmatis untuk mendapatkan kekuasaan, bahkan pragmatis juga dalam melakukan perjuangan dakwah.
Adapun beberapa strategi yang harus direalisasikan oleh kader-kader PMII khususnya yaitu sebagai berikut :

1. Hikmah Kebijaksanaan
Hikmah diartikan sebagai perumpamaan untuk mengambil pelajaran dari kejadian atau kepribadian. Metode ini fleksibel dan dapat digunakan dimana saja. Cara yang ditempuh dengan cara antara lain :
A. Keteladanan dan Uswatun Hasanah
Cara ini ialah cara paling efektif, dengan keteladanan orang akan mudah mengikuti tokoh yang diteladani. Bukankah dalam QS. Al-Ahzab:21 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad merupakan keteladan yang baik bagi mereka yang rahmat Allah dan syafaat di hari kiamat? Bahkan Nabi terkenal Al-Amiin sebelum wahyu diturunkan kepadanya. Al-amiin inilah modal pertama sehingga Nabi Muhammad  SAW dapat mempengaruhi masyarakat Arab.
Strategi di atas adalah sangatlah umum untuk mengembangkan Aswaja di kampus umum yang kering siraman rohani dan rentan ekstrimisme. Karena cara di atas juga cara dakwah yang dijelaskan dalam Al Qur'an.
2. Internalisisasi prinsip Aswaja pada tiap diri anggota PMII
Pada setiap anggota PMII telah dikenalkan dengan nilai-nilai Aswaja antara lain tawasuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal atau ta'adul. Konsekuensi dari nilai-nilai ini anggota PMII bisa berinteraksi dan diterima mahasiswa secara luas. Anggota PMII sadar bahwa keberadaannya harus diterima di kalangan mahasiswa umum. Setelah diterima anggota PMII baru dapat mengaktualisasikan Aswaja kepada mahasiswa di sekitarnya.
3. Silaturrahim Kelompok alumni atau mahasiswa pesantren
Selama ini di kampus umum terdapat organisasi alumni pendok pesantren dari berbagai daerah. Dari Bahrul Ulum Jombang, Lirboyo Kediri, Tarbiayatut Tholabah Lamongan, At-Tanwir Bojonegoro, Nurul Jadid Probolinggo. Melalui kesamaan kultural dijalin komunikasi dan sekali dua kali mengadakan kegiatan bersama seperti mengaji bersama atau kegiatan lain yang mempererat persaudaraan.
4. Kelompok belajar mengaji Aswaja di internal PMII
Mengaji kitab-kitab kuning dalam bidang aqidah, fikih, dan tasawuf secara bersamaan. Mengaji menjadi rutinan dan dibiasakan. Dari bidang akidah, memberi keyakinan bahwa Aswaja menjadi cara berakidah yang paling shohih dengan menjaga keberadaan nas, dan mentakwil nas jika membelakangi  pemikiran. Sehingga diperoleh cara bertauhid yang benar. Bidang fikih, Ulama’ Aswaja menjadikan pijakan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas . Hasil ijtihadnya lazim kita ketahui dengan Imam 4 madzhab. Tasawuf ditekankan adanya maqomat (level) tertentu. Membagi menjadi syariat, haqiqat dan ma’rifat. Zuhri membagi maqomat-maqomat yakni: tawbah, zuhd, wara’, faqr, shabr, tawakkal, dan ridha. Dalam proses antar tahap itu ada khowf, raja’, fana, dan fanaul fana.
Hasil kajian tidak hanya didengarkan, tetapi perlahan diamalkan. Sesekali diistiqomahkan untuk berpuasa senin kamis, atau puasa ayyamul bith. Sehingga, penempaan diri tidak hanya dalam urusan akal dan logika saja, tetapi juga penempaan hati melalui puasa, dzikir, wirid, rotib dan maulid atau manaqib.
5. Dakwah media dengan media yang ada
Selama ini kita terpaku kepada kepemimpinan dakwah kampus yang ada. Padahal banyak media yang dapat digunakan untuk mengembangkan dakwah di kampus. Seolah-olah kalau tidak memiliki kepemimpinan lembaga dakwah kampus, kita tidak dapat melakukan dakwah. Menurut penulis metode yang paling efektif dengan akhlaq (metode hikmah kebijaksanaan), karena Nabi pun media dakwah utama ialah Uswatun Hasanah. Media lisan, lukisan atau audio visual tidak sulit kita gunakan, setiap individu memiliki Tuhan yang ada di genggaman mereka berupa handphone. Melalui handphone bisa membuat meme islam, audio visual (melalui dubsmash atau yang lain). Media publikasi pun tidak jauh, dapat melewati BBM, WhatsApp, bahkan Instagram.
6. Pembagian peran pengembangan Aswaja di Internal dan Eksternal PMII
Peran penguatan yang ada di internal PMII mewacanakan bahwa madzhab keagamaan dan manhaj PMII yang paling absah dalam mengapai istinbath gerakan mahasiswa. Sedangkan di eksternal PMII, menyajikan Islam yang ramah, menarik, menyejukkan, dan menentramkan. Sehingga melepas batas apa yang ingin dicari oleh mereka. Kadang bendel NU atau Nahdliyiin juga harus dibredel ketika medan berbeda.
7. Masuk organisasi keagamaan di kampus
Individu yang masuk organisasi keagamaan (LDK, atau Lembaga Pembinaan Al-Quran). Selayaknya memiliki i’tikad untuk beribadah dan untuk mengabdi di organisaasi tersebut. Meskipun ada maksud untuk mendakwahkan Ahlussunnah Wal Jamaah kepada oraganisasi tersebut. Yang menjadi perhatian bahwa itu bukan tujuan utama. Jika diteima Al hamdulillah, jika tidak diterima tidak apa-apa. Disini prinsip tasamuh harus diterapkan.
8. Mendirikan atau menginisiasi kegiatan keagamaan di kampus yang berlatas belakang Ahlussunnah Wal Jamaah.
Jika organisasi keIslaman memungkinkan untuk Syiar Islam Aswaja An-Nahdliyyah maka silahkan disyiarkan melalui LDK itu. Akan tetapi jika tidak memungkinkan alangkah baiknya untuk membentuk lembaga keIslaman dengan label tradisi NU.
Hak paling utama untuk menghidupkan nilai Aswaja di lingkungan Kampus terutama kampus umum adalah menata niat. Hilangkan pemikiran pragmatis tentang dakwah, pikirkan rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang. Perlu rasa tawadhu’ untuk mengembangkan Aswaja ala Nahdliyin dan PMII. Rancangan ide harus jelas, dan dilakukan dengan aksi tepat dan dievaluasi secara berkala untuk selalu memperbaiki diri.

Selebihnya, ini sebatas strategi. Untuk benar-benar memperjuangkan kehidupan nilai-nilai Aswaja di kampus umum memerlukan kerja keras. Sehingga, kampus umum menjadi damai dan sejuk tanpa indikasi benih-benih ekstreamisme

Jumat, 14 April 2017

Mengapa Ada Ketidaksetaraan Gender


Kesetaraan Gender = Keadilan bagi Perempuan?

Saat ini sudah banyak perempuan yang bekerja, sepertinya mereka sudah maju. Tetapi bahwa diseluruh dunia rata-rata perempuan hanya mendapat 70% dari gaji laki-laki.

Saat ini juga banyak perempuan yang bekerja dipemerintahan, parlemen, perusahaan hingga partai politik. Tetapi hampir dari mereka semua tidak duduk pada kursi pengambil keputusan. Maka melihat kenyataan ini, apakah telah terwujud kesetaraan gender diantara perempuan dan laki-laki?

Jawabannya adalah “Belum”.

Lalu mengapa masih ada kesenjangan?

Kesetaraan gender tidak bisa diwujudkan hanya dengan membuka kesempatan bagi perempuan. Masalah yang menghambatnya pelik dan mendasar, ini menyangkut cara pandang dan pola pikir.

Istilah gender sendiri diciptakan untuk membedakan dari jenis kelamin secara biologis. Jenis kelamin mengacu pada kriteria fisiologis dan biologis, seperti jenis kelamin, hormon serta kromoson.

Sementara itu gender mengacu pada konstruksi sosial atas peran, perilaku, aktivitas serta atribut yang ditentukan oleh masyarakat yang dianggap tepat untuk jenis kelamin tertentu.

Dalam masyarakat patriarki, gender secara tradisional digambarkan sebagai sesuatu yang berganda dan polar. Tingkah laku dan kepatutan ditandai sebagai khas laki-laki dan perempuan. Ada pemisahan dan pengkutuban.

Dalam masyarakat patriarki, laki-laki ada diposisi atas, pemimpin dan pegambil keputusan. Sementara itu perempuan berada dibawah mengikuti apa yang telah diatur.

Di dunia kerja laki-laki adalah bos, perempuan adalah sekretaris. Laki-laki adalah pilot dan perempuan adalah pramugari.

Posisi hierarki terutama terjadi pada rumah tangga. Laki-laki didepan sebagai kepala rumah tangga, sedangkan perempuan dibelakangnya. Gambaran kita tentang laki-laki dan perempuan serta apa yang mereka lakukan adalah politik dan pandangan masyarakat dari tempat kita tinggal.

Disini ada proses yang disebut dengan Doing Gender. Kita melakukan gender ketika menempatkan jenis kelamin sebagai dasar dan pembeda. Saat bayi lahir hal pertama yang dilakukan oleh dokter adalah melihat alat kelaminnya. Tindakan ini tidak ada kepentingan pada hal medis., melainkan bagian dari doing gender tadi. Setelah bayi diberikan kepada keduaorangtua, giliran orangtua melakukan gender, mereka mengidentikan laki-laki dengan warna biru dan perempuan berwarna pink sebagai khas gender. Warna menjadi symbol sekaligus pembeda.

Setiap individu selalu doing gender. Mereka selalu melakukan penyimpangan dari performa yang diterima secara sosial. Dengan melakukan gender kita mengkuat keyakinan bahwa hanya ada dua kategori gender, yang saling berlawanan pada dasarnya berbeda.

Kita terus menerus di evaluasi oleh orang lain dengan menggunakan barometer gender. Oleh karena itu gender dikatakan omni-relevan yang berarti orang yang selalu menilai perilaku kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan.

Dalam interaksi individual masyarakat pelajar apa yang diharapkan, melihat apa yang diharapkan untuk bertindak serta beraksi dengan cara apa yang diharapkan. Dengan demikian, secara serentak kita dikonstruksi dan dipertahankan atas perintah gender.

Stereotipe tentang apa yang diharapkan kehasratan laki-laki dan perempuan diperkuat imaji yang muncul di media, berita, materi pendidikan dan lain hal sebagainya. Laki-laki harus melakukan hal-hal yang masukin, oleh kelas mapan laki-laki adalah seorang bos, bekerja dikantor, memiliki rumah, mobil, isiti dan dua anak, persis seperti di iklan-iklan.

Sementara bagi perempuan, mereka harus memerankan hal-hal yang feminim, seperti melayani anak dan suami, menjadi ibu rumah tangga, menjadi cantik. Ini juga persis dengan gambaran iklan-iklan produk rumah tangga. Seperti sabun cuci, bumbu masak, alat pembersih rumah tangga hingga kosmetik.

Feminis dan maskulin sebanarnya majemuk banyak bentuknya. Apa yang di definisikan sebagai perbedaan antara feminis dan maskulin ditentukan oleh faktor-faktor etnis, agama, kelas, budaya bangsa, orientasi seksual, serta berbagai faktor sosial lainnya.

Apa yang dimaknai dari feminis dan maskulin dinilai oleh kultur yang berbeda. Ekspresi serta peran feminis dan maskulin sesungguhnya merugikan semua pihak. Baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak.

Hidup kita menjadi dibelenggu oleh keharusan-keharusan dan tuntutan-tuntutan bukan atas dasar kebebasan dan ekspresi pribadi. Kenyataan juga menunjukkan sifat laki-laki dan perempuan tidak berada pada dua kitub yang bersebrangan, ada gradasi percampuran dan juga variasi.

Kehadiran kelompok trangender dan interseksual, misalnya : adalah realitas yang ada dimasyarakat dan tidak di akomodasi oleh cara pandang patriarki. Proses melakukan gender termasuk hubunganna subordinasi perempuan telah mencengkram kuat, dilegitimasi, peraturan dan undang-undang, ilmu pengetahuan, kebijakan serta nilai-nilai yang diciptakan oleh masyarakat.

Dalam struktur sosial ini, tujuan gender adalah membangun perempuan sebagai kelompok yang berbeda dibawah laki-laki. Norma-norma gender dan harapannya ditegakan melalui sanksi-sanksi informal atas perilaku gender yang dianggap tidak pantas oleh kelompok, serta melalui hukuman formal oleh pemilik otoritas.

Maka kita paham, kesenjangan gender bukan akibat dari jenis kelamin, fisiologi, hormon atau kecenderunagn genetik. Kesetaraan gender adalah produk dari konstrusi sosial di masyarakat, ia tidak bisa diselesaikan hanya sebatas memberi kesempatan, tetapi cara pandang kita harus berubah.


(Robiatul Adawiyah/Wiwi)

Sabtu, 08 April 2017

Ketiadaanmu adalah Keberadaanmu


Sajak
“Ketiadaanmu adalah Keberadaanmu”

Pada bingkai sajak usai
Roda dua
Trotoar
Kopi hitam
Nyanyian
Dan sepasang kursi bermesraan
Adalah kebermutuan cerita.

Kini,
Ketiadaanmu adalah keberadaanmu.
Di roda dua
Trotoar
Kopi hitam
Nyanyian
Dan sepasang kursi bermalasan
Ada kau yang menyerupai.
Nyaris persis,
Sosokmu menjelma pada alam
Dalam ketiadaan ada keberadaanmu.
Pada diriku ada dirimu,
Aku adalah kamu,
Sementara,
Nalar masih berupa kemungkinan.


Jakarta, 06 April 2017

Selasa, 04 April 2017

Gara-gara Aku, Ibuku Mati



Dewi tahu, ia tak punya ibu sejak ia dilahirkan. Mengapa orang-orang sekitar berulang kali menanyakan perihal ibunya? Bedebah, mereka terlalu usil mengungkit riwayatnya. Bukankah itu sudah takdir, yang tak mungkin terulang kembali seperti waktu yang tak mungkin mundur ke belakang walau hanya sepersekian detik saja? Dewi yang piatu tak pernah menyusu pada siapa pun. Ia diasuh bapaknya dan neneknya, serta kasih sayang tiga saudara laki-lakinya. Dewi anak terakhir dari empat besaudara. Ketiga saudaranya laki-laki. Namun demikian, perasaan-perasaan sebagai anak terkasih teramat perih, berawal dari peristiwa itu.

Peristiwa? Kejadian? Kenyataan itu harus ia alami hingga kini, sampai detik ini, bahkan sejak ia berusia 3 bulan, tinggal di rumah kecil penuh kasih yang membuatnya tak mengenal perasaan kehilangan. Ketiga saudara laki-lakinya, Faisal, Aldi dan Aldo si kembar, berlomba-lomba saling membahagiakannya. Begitupun neneknya yang sangat setia menimangnya, mengasuh, mendidik, mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Dewi.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan, wi?

“Nek, bapak kemana?” Ia sesekali mempertanyakan keadaan bapaknya yang entah di mana adanya. Nek Sopiyah hanya mampu menahan air mata yang hendak tumpak ke wajah keriputnya, menjelang usia 95 tahun ia sangat tegar menghadapi peristiwa itu.

Dewi melamun di pojok warung kopi. Hari masih sangat dini. Musik pop mengalun seirama perasaannya, menggetarkan secangkir kopi di atas meja. Menurut Bu Inah, pemilik warung kopi, lidahnya mengenal rasa kopi dari kebiasaan bapaknya yang suka ngopi. Padahal ketiga saudara laki-lakinya hampir tak suka ngopi, hanya sesekali mersakan harumnya kopi saat ibunya menyodorkan kopi untuk bapaknya sesaat sebelum berangkat kerja.

Pak Madi, bapaknya sudah mengenal kafein cair itu sejak masih sekolah dasar. Kebiasaannya mengopi tertular pada anak bungsunya. Kini ia menggemari kopi. Padahal Ibunya pun tidak suka kopi. Bahkan Nenek tak pernah menyiapkan kopi, kecuali untuk kakek yang tak pernah dikenalnya. Kakek meninggal sejak kakak pertama Dewi berusia 2 tahun.

Mata Dewi menerawang. Wajahnya muram, berbeda dengan foto-foto sumringah saat ia masih mengenakan seragam SMP dan SMA di Pondok Pesantren al-Azzamiyah dengan teman-temannya. Dewi termasuk gadis genius, ia menjurai ranking sejak kelas satu SMP hingga ia lulus SMA dan mendapatkan gelar siswa terbaik sepondok pesantren. Dalam seminggu terakhir, ia memasrahkan diri pada peristiwa yang mengalir. Yang berbisik bahwa hidup ini sudah tamat. Sejak ibunya meninggal dan bapaknya pergi meninggalkan rumah serta anak-anaknya.

Pintu rumahnya diketok, seseorang menyodorkan surat padanya. Belum sempat lidahnya mengucapkan kata-kata bertanya, dari siapa surat ini? Untuk siapa surat ini? Laki-laki itu berbegas pergi tanpa kata. Ia baca isi surat itu dengan penasaran, matanya menyala. “Aku kangen kalian anak-anakku.” Ternyata hanya sebait kalimat yang tertera.

Oh, bedebah macam apa yang selalu membuatku marah? Tak hanya ketika ku dengar cerita bahwa dia pergi meninggalkan kami dengan alasan ingin menikah lagi. Seperti binatang saja, setelah ibu tiada, dan kami tumbuh besar, saat itu aku masih bayi, kau pergi begitu saja menelantarkan kami dan nenek. “Kau laki-laki tidak bertanggung jawab, pengecut, brengsek.” Dewi memaki dalam hatinya.

Sesaat Dewi rapuh dengan keadaan yang menyelimutinya. Ia menyalahkan diri sendiri, “Andai saja aku tidak dilahirkan, mungkin ibu masih hidup bersama nenek dan kakak-kakakku. Tuhan, kenapa aku harus dilahirkan?”. Dalam hatinya ia berontak, dalam kesunyian ia menangis, ia memaki dirinya sendiri. Seketika Dewi teringat ucapan nenek bahwa ibumu belum meninggal, dia hanya berpindah tempat dan sedang menunggu kalian di firdaus.

Semenjak ia masuk dalam dunia pendidikan lebih tinggi, kehidupannya dihiasi tentang pelajaran dan buku-buku yang dibacanya. Ingatan itu membuat Dewi beranjak ke perpustakaan pondok pesantren dan mengambil kitab fiqih muslimah di rak nomor dua. Nama pengarang itu, adalah Robiatul Adawiyah. Buku pertama yang dia baca saat mondok dan waktu itu tanpa sengaja ia mengambil untuk ditaruh kembali di rak karena jatuh dilantai. Sebelumnya, ia sempat membaca pengarang beserta biografi buku tersebut. Sontak hatinya tertegun, sederet pertanyaan mengawang-awang dalam pikirannya. “Apakah penulis buku ini benar ibuku?”.

Diam-diam ia bawa buku itu dan ditanyakan pada nenek. “Ibumu orang hebat Wi. Dia penulis, penceramah, pandai mengaji” Ucap nenek waktu mengunjungi Dewi di Pondok. Ibu sangat genius, sebenarnya sudah banyak karya tulis ibu yang dijadikan refrensi mahasiwa tingkat akhir jurusan syariah di Pondok. Namun, sebab peristiwa kebakaran yang menghanguskan banyak buku-buku di perpustakaan, akibatnya banyak pula karya tulis ibu yang teralalap api.

Kini hatinya terguncang setelah kakak pertamanya, Faisal menikah, dan tinggal bersama istrinya. Hanya sesekali menyambangi adik-adiknya dan nenek. Sebulan selanjutnya, kakak kedua, Aldi pun turut pergi meninggalkan rumah ikut dengan saudara dari ibu, ia tinggal dan menetap di sana. Kini, tinggal Dewi, Aldo dan nenek.

“Aku masih terlalu dini untuk kalian tinggalkan. Aku masih sangat membutuhkan kasih sayang kalian. Tapi kenapa semuanya pergi?, Ka Aldo pun jarang di rumah, kadang pulang itupun hanya numpang ganti pakain saja. Semuanya bedebah!”. Air matanya mengucur deras, memaki-maki dalam hati, ia marah, ia marah pada semua orang, ia marah pada keadaan, ia marah pada dirinya sendiri.
***
Di depan rumah Anggi, sepupunya, yang lahir dari rahim Bu Lisa, adik ibunya Dewi. Ia menyaksikan kebahagian saat ke-enam anak-anak Bu Lisa sedang berkumpul, senda gurau. Sesaat melihat kebahagiaan itu, Dewi melangkah cepat masuk ke rumahnya, sebidang kaca cukup lebar ia hantam dengan tangannya dan berdarah. “Tuhan tidak Adil.” ucapnya lirih dengan nada marah.

Dewi yang sudah menginjak masa remaja, 18 tahun kini usianya. Selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sepupunya, Anggi yang lebih tua 2 tahun darinya. “Kamu lebih beruntung Nggi, keluargamu utuh. Ibumu masih hidup, bapakmu pun masih tinggal serumah denganmu. Sedangkan aku, ibuku mati gara-gara melahirkanku, bapakku pergi ketika aku masih 3 bulan. Lalu apa lagi yang kau risaukan Nggi?” ucap Dewi menggerutu dalam hati. “Walaupun aku tau betul silsilah keluargamu, tapi setidaknya kamu menikmati kebahagiaan itu”.

Lamunan Dewi terputus oleh suara seseorang yang menegetuk pintu kamarnya. Dilihatnya Nenek yang seluruh rambutnya memutih, keriput wajahnya semakin tua. Matanya mulai sayu. Nampak jelas tubuhnya renta. “Sini, nenek ceritakan.” sambil menarik lenganku dan duduk di bale bambu peninggalan ibu.
“Kamu itu cucu nenek yang sangat beruntung. Kamu perempuan pilihan tuhan. Kamu perempuan yang paling bahagia di dunia dan akherat nanti.” sesekali nenek menyeka air matanya. “Coba kau bandingkan dengan saudara-saudaramu, dengan sepupu-sepumu, dengan teman-temanmu. Mereka hanya mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan saudara-saudaranya. Mereka hanya bahagia di dunia saja Wi.” ujar nenek menenangkan hatiku. “Kau lihat kakakmu Faisal, sakit-sakitan terus, sudah jarang dia menjenguk kita. Kakakmu Aldi, turut pula merawat budemu yang sedang di rawat. Aldo, entah kemana ia pergi. Kadang pulang ke rumah, kadang tidak.” ungkap nenek menjelaskan.

“Kau Dewi, kau perempuan yang di asuh langsung oleh tuhan. Kau, perempuan yang mendapatkan kasih sayang langsung dari tuhan. Kau, perempuan  paling beruntung dari semuanya. Nenek hanya perantara saja mengasuhmu Wi. Di balik semua ini, adalah kasih sayang tuhan, rahmat tuhan. Jangan pernah kau menyalahkan dirimu atas kematian ibumu karena melahirkanmu. Janganlah iri dengan kehidupan orang lain cucuku, kebahagian di dunia hanyalah sementara, tak ada yang abadi” Tambahnya.
***
“Apa lagi yang ingin kamu ketahui tentang dirimu, Wi?.”. Tiba-tiba seorang lelaki tanggung melemparkan tanya padanya saat Dewi sedang melamun di warung kopi bu Inah. Matanya memburu sumber suara itu. Siapa? pikirnya mengawang, hatinya penasaran, sibuk kepalanya tengak-tengok ke kiri-ke kanan-ke belakang.
“Ini ada surat untukmu.” lelaki itu bergegas pergi setelah menyodorkan surat.
Aku pergi bukan karena tidak sayang kalian, anak-anakku. Aku rindu, aku kangen kalian. Nenek, Faisal, Aldi, Aldo dan kau Dewi, gadis permata hatiku. Yakinlah, bahwa aku setia menunggu kalian di pintu Firdaus. Dengan menulis bait-bait rindu ini untukmu. Aku tulis sajak ini, hanya untuk memberitahumu bahwa kalian lebih indah dari apapun. Aku tulis sajak ini, hanya untuk membuatku ada dalam pikiranmu. Aku mencintaimu.
“Dariku yang melahirkanmu”.
Jakarta, 19 Januari 2016

Mendewasakan raas-a

Siang itu menjadi siang hari yang begitu menyengat bagiku, bukan karena cuaca yang tidak bersahabat, bukan juga karena aku memakai baju teba...