Selasa, 04 April 2017

Perempuan adalah Manusia Pertama

Belum terlalu lama, sejak aku menyandang predikat sebagai aktivis, dinamika kehidupan perlahan berubah. Bukan hanya perihal perjalanan dan rintangan, namun juga uang jajanku tiap minggu ikut-ikutan berubah. Lha apa hubungannya dengan uang jajan? Macam anak sekolah pindah tingkatan saja, uang jajan harus naik level dari tingkatan sebelumnya. Rupanya semua didasari oleh bakat bawelku yang sudah mendarah daging, begitulah kira-kira pemahaman yang kudapati.

Setelah beberapa kali pertemuan, rupanya ada satu sosok yang diam-diam mengagumiku sebagai aktivis, yang juga aku mengaguminya karna sosoknya yang tegar lagi bijaksana. Ya, dia adalah laki-laki berstatus Ayah.

Kita memang tak begitu akrab layaknya hubungan Orangtua dan Anak, apalagi keberadaan kita yang tak pernah satu atap. Lha kita malahan layaknya Dukun dan Pasiennya, aku menghampirinya bila ingin berkonsultasi perihal teka-teki pertanyaan. Dimana, sering aku jumpai dari teman-teman komunitasku yang pikirannya suka nyeleneh. Begitu memang Mahasiswa, kalau tak nyeleneh tak disebut Maha nantinya.

Bermula sejakku dapati pertanyaan “Apa yang dilakukan oleh Adam dan Siti Hawa ketika mereka dipisahkan dan ditempatkan dibumi selama sekian tahun?”. Pertanyaan yang hendakku lontarkan padanya kala itu. Dengan lantang pria setengah abad ini menjawab “Ngojek palingan”.

Jangkriiik, pikirku makin tak karuan. Jawaban macam apa bila dilihat tingkat kualitasnya makin nyeleneh. Pikirku polos, “bukankah sesuatu yang telah dipisahkan, sejatinya mereka akan saling mencari layaknya sepasang kekasih yang saling mencinta?”.

Belum selesai aku tenggelam dalam lamunan, pria setengah tua ini menengahi alam sadarku. Semua yang hendak keluar dari pemikirannya tak lebih bersumber dari Surat anu dan Ayat sekian. Begitulah kira-kira. Aku hanya terfokus mencatatnya, sebab telahku sadari bahwa kebiasaan lupaku sudah semakin akut.
Sesekali ia hanya memerintahkanku untuk mencari bentuk tafsiran dan memahaminya matang-matang. Belum selesai aku memaknai ayat-ayat yang hendak terlontar, tanpa jeda ia meneruskan pertanyaan “Siapa manusia pertama?”. Jawabku cepat “Yha jelas Nabi Adam lah”, ia membalas “Sumbernya dari mana bisa-bisanya kamu jawab Nabi Adam?”. Dengan tampang setengah cengengesan aku memberanikan diri untuk menjawab “Dari si anu, anu dari si anu…. Sampai Z”.

Tak jarang jemarinya hendak menepuk-nepuk pundakku. Entah itu sebuah isyarat atau hanya gerakan biasa, yang jelas ada pesan tersandung, pertanda akan ada obrolan serius.

Benar saja. Belum selesai aku termangu kebingungan, bibirnya berdalih membacakan ayat-ayat. “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Nabi Isa As sama seperti Nabi Adam As”. Semua bersumber murni dari pedoman kitab yang kita yakini yaitu Al-Quran (Al-Imran; 59).

“Jadi siapa manusia pertama?”, tanyanya tegas. “Berarti manusia pertama Perempuan dong”, jawabku setengah ragu. “Kenapa?”, rupanya ia mencoba ruang pikiranku untuk bersua dengan bertanya kenapa. Tanpa jeda aku membalasnya “Lha iya, kalau perumpamaan (penciptaan) Nabi Isa As seperti Nabi Adam As, berarti Nabi Adam As punya Ibu dan ia dilahirkan, namun tak punya bapak”. “Mungkin, bisa jadi” jawabnya santai.

Tak sampai disitu, ia berusaha membuka pembuktian lagi. “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam)” (Annisa; 1). Tanyaku cepat “Bagaimana maksudnya?”. “Kalau kita simak tafsiran dari ayat tersebut, kata-kata (Waahidah) tersebut merupakan bentuk dari (ta’ muannas) yang berarti perempuan. Sedang isi ayat tersebut berisi tentang penciptaan Adam dari diri yang satu yaitu bila ditafsirkan adalah (Perempuan)”.

Diam-diam aku menghela nafas pertanda otakku mulai kenyang. Namun lagi-lagi ia menyerangku balik, seakan ingin memaksaku untuk berpikir cepat. Belum usai asap mengepul dari bibirnya, ia kembali menjelaskan, “Karna sesungguhnya, sebelum adanya Adam As, sudah adanya manusia dan kehidupan”. “Lha masa?” Tanyaku lagi.

Belum sempat pertanyaanku dijawab, ia sudah lebih dulu menengahi pembicaraan, pertanda sudah waktunya aku bergegas pulang. “Semata-semata ini adalah sebuah bentuk pembelajaran, tak perlu diperdebatan, tetap menjadi bocah tua, Nak”, ucapnya sedikit manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mendewasakan raas-a

Siang itu menjadi siang hari yang begitu menyengat bagiku, bukan karena cuaca yang tidak bersahabat, bukan juga karena aku memakai baju teba...