Belum terlalu lama, sejak aku menyandang predikat sebagai aktivis,
dinamika kehidupan perlahan berubah. Bukan hanya perihal perjalanan dan
rintangan, namun juga uang jajanku tiap minggu ikut-ikutan berubah. Lha
apa hubungannya dengan uang jajan? Macam anak sekolah pindah tingkatan
saja, uang jajan harus naik level dari tingkatan sebelumnya. Rupanya
semua didasari oleh bakat bawelku yang sudah mendarah daging, begitulah
kira-kira pemahaman yang kudapati.
Setelah beberapa kali
pertemuan, rupanya ada satu sosok yang diam-diam mengagumiku sebagai
aktivis, yang juga aku mengaguminya karna sosoknya yang tegar lagi
bijaksana. Ya, dia adalah laki-laki berstatus Ayah.
Kita memang
tak begitu akrab layaknya hubungan Orangtua dan Anak, apalagi keberadaan
kita yang tak pernah satu atap. Lha kita malahan layaknya Dukun dan
Pasiennya, aku menghampirinya bila ingin berkonsultasi perihal teka-teki
pertanyaan. Dimana, sering aku jumpai dari teman-teman komunitasku yang
pikirannya suka nyeleneh. Begitu memang Mahasiswa, kalau tak nyeleneh
tak disebut Maha nantinya.
Bermula sejakku dapati pertanyaan “Apa
yang dilakukan oleh Adam dan Siti Hawa ketika mereka dipisahkan dan
ditempatkan dibumi selama sekian tahun?”. Pertanyaan yang hendakku
lontarkan padanya kala itu. Dengan lantang pria setengah abad ini
menjawab “Ngojek palingan”.
Jangkriiik, pikirku makin tak karuan.
Jawaban macam apa bila dilihat tingkat kualitasnya makin nyeleneh.
Pikirku polos, “bukankah sesuatu yang telah dipisahkan, sejatinya mereka
akan saling mencari layaknya sepasang kekasih yang saling mencinta?”.
Belum
selesai aku tenggelam dalam lamunan, pria setengah tua ini menengahi
alam sadarku. Semua yang hendak keluar dari pemikirannya tak lebih
bersumber dari Surat anu dan Ayat sekian. Begitulah kira-kira. Aku hanya
terfokus mencatatnya, sebab telahku sadari bahwa kebiasaan lupaku sudah
semakin akut.
Sesekali ia hanya memerintahkanku untuk mencari
bentuk tafsiran dan memahaminya matang-matang. Belum selesai aku
memaknai ayat-ayat yang hendak terlontar, tanpa jeda ia meneruskan
pertanyaan “Siapa manusia pertama?”. Jawabku cepat “Yha jelas Nabi Adam
lah”, ia membalas “Sumbernya dari mana bisa-bisanya kamu jawab Nabi
Adam?”. Dengan tampang setengah cengengesan aku memberanikan diri untuk
menjawab “Dari si anu, anu dari si anu…. Sampai Z”.
Tak jarang
jemarinya hendak menepuk-nepuk pundakku. Entah itu sebuah isyarat atau
hanya gerakan biasa, yang jelas ada pesan tersandung, pertanda akan ada
obrolan serius.
Benar saja. Belum selesai aku termangu
kebingungan, bibirnya berdalih membacakan ayat-ayat. “Sesungguhnya
perumpamaan (penciptaan) Nabi Isa As sama seperti Nabi Adam As”. Semua
bersumber murni dari pedoman kitab yang kita yakini yaitu Al-Quran
(Al-Imran; 59).
“Jadi siapa manusia pertama?”, tanyanya tegas.
“Berarti manusia pertama Perempuan dong”, jawabku setengah ragu.
“Kenapa?”, rupanya ia mencoba ruang pikiranku untuk bersua dengan
bertanya kenapa. Tanpa jeda aku membalasnya “Lha iya, kalau perumpamaan
(penciptaan) Nabi Isa As seperti Nabi Adam As, berarti Nabi Adam As
punya Ibu dan ia dilahirkan, namun tak punya bapak”. “Mungkin, bisa
jadi” jawabnya santai.
Tak sampai disitu, ia berusaha membuka
pembuktian lagi. “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam)” (Annisa; 1). Tanyaku cepat
“Bagaimana maksudnya?”. “Kalau kita simak tafsiran dari ayat tersebut,
kata-kata (Waahidah) tersebut merupakan bentuk dari (ta’ muannas) yang
berarti perempuan. Sedang isi ayat tersebut berisi tentang penciptaan
Adam dari diri yang satu yaitu bila ditafsirkan adalah (Perempuan)”.
Diam-diam
aku menghela nafas pertanda otakku mulai kenyang. Namun lagi-lagi ia
menyerangku balik, seakan ingin memaksaku untuk berpikir cepat. Belum
usai asap mengepul dari bibirnya, ia kembali menjelaskan, “Karna
sesungguhnya, sebelum adanya Adam As, sudah adanya manusia dan
kehidupan”. “Lha masa?” Tanyaku lagi.
Belum sempat pertanyaanku
dijawab, ia sudah lebih dulu menengahi pembicaraan, pertanda sudah
waktunya aku bergegas pulang. “Semata-semata ini adalah sebuah bentuk
pembelajaran, tak perlu diperdebatan, tetap menjadi bocah tua, Nak”,
ucapnya sedikit manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar