Saat ini sudah banyak
perempuan yang bekerja, sepertinya mereka sudah maju. Tetapi bahwa diseluruh dunia
rata-rata perempuan hanya mendapat 70% dari gaji laki-laki.
Saat ini juga banyak
perempuan yang bekerja dipemerintahan, parlemen, perusahaan hingga partai
politik. Tetapi hampir dari mereka semua tidak duduk pada kursi pengambil
keputusan. Maka melihat kenyataan ini, apakah telah terwujud kesetaraan gender
diantara perempuan dan laki-laki?
Jawabannya adalah
“Belum”.
Lalu mengapa masih ada
kesenjangan?
Kesetaraan gender tidak
bisa diwujudkan hanya dengan membuka kesempatan bagi perempuan. Masalah yang
menghambatnya pelik dan mendasar, ini menyangkut cara pandang dan pola pikir.
Istilah gender sendiri diciptakan untuk membedakan dari jenis kelamin secara biologis. Jenis kelamin mengacu pada kriteria fisiologis dan biologis, seperti jenis kelamin, hormon serta kromoson.
Sementara itu gender mengacu pada konstruksi sosial atas peran, perilaku, aktivitas serta atribut yang ditentukan oleh masyarakat yang dianggap tepat untuk jenis kelamin tertentu.
Dalam masyarakat
patriarki, gender secara tradisional digambarkan sebagai sesuatu yang berganda
dan polar. Tingkah laku dan kepatutan ditandai sebagai khas laki-laki dan
perempuan. Ada pemisahan dan pengkutuban.
Dalam masyarakat
patriarki, laki-laki ada diposisi atas, pemimpin dan pegambil keputusan.
Sementara itu perempuan berada dibawah mengikuti apa yang telah diatur.
Di dunia kerja
laki-laki adalah bos, perempuan adalah sekretaris. Laki-laki adalah pilot dan
perempuan adalah pramugari.
Posisi hierarki
terutama terjadi pada rumah tangga. Laki-laki didepan sebagai kepala rumah
tangga, sedangkan perempuan dibelakangnya. Gambaran kita tentang laki-laki dan
perempuan serta apa yang mereka lakukan adalah politik dan pandangan masyarakat
dari tempat kita tinggal.
Disini ada proses yang
disebut dengan Doing Gender. Kita
melakukan gender ketika menempatkan jenis kelamin sebagai dasar dan pembeda.
Saat bayi lahir hal pertama yang dilakukan oleh dokter adalah melihat alat
kelaminnya. Tindakan ini tidak ada kepentingan pada hal medis., melainkan
bagian dari doing gender tadi.
Setelah bayi diberikan kepada keduaorangtua, giliran orangtua melakukan gender,
mereka mengidentikan laki-laki dengan warna biru dan perempuan berwarna pink
sebagai khas gender. Warna menjadi symbol sekaligus pembeda.
Setiap individu selalu
doing gender. Mereka selalu melakukan penyimpangan dari performa yang diterima
secara sosial. Dengan melakukan gender kita mengkuat keyakinan bahwa hanya ada
dua kategori gender, yang saling berlawanan pada dasarnya berbeda.
Kita terus
menerus di evaluasi oleh orang lain dengan menggunakan barometer gender. Oleh
karena itu gender dikatakan omni-relevan yang berarti orang yang selalu menilai
perilaku kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan.
Dalam interaksi
individual masyarakat pelajar apa yang diharapkan, melihat apa yang diharapkan
untuk bertindak serta beraksi dengan cara apa yang diharapkan. Dengan demikian,
secara serentak kita dikonstruksi dan dipertahankan atas perintah gender.
Stereotipe tentang apa
yang diharapkan kehasratan laki-laki dan perempuan diperkuat imaji yang muncul
di media, berita, materi pendidikan dan lain hal sebagainya. Laki-laki harus
melakukan hal-hal yang masukin, oleh kelas mapan laki-laki adalah seorang bos,
bekerja dikantor, memiliki rumah, mobil, isiti dan dua anak, persis seperti di
iklan-iklan.
Sementara bagi perempuan,
mereka harus memerankan hal-hal yang feminim, seperti melayani anak dan suami,
menjadi ibu rumah tangga, menjadi cantik. Ini juga persis dengan gambaran
iklan-iklan produk rumah tangga. Seperti sabun cuci, bumbu masak, alat
pembersih rumah tangga hingga kosmetik.
Feminis dan maskulin
sebanarnya majemuk banyak bentuknya. Apa yang di definisikan sebagai perbedaan
antara feminis dan maskulin ditentukan oleh faktor-faktor etnis, agama, kelas,
budaya bangsa, orientasi seksual, serta berbagai faktor sosial lainnya.
Apa yang dimaknai dari
feminis dan maskulin dinilai oleh kultur yang berbeda. Ekspresi serta peran
feminis dan maskulin sesungguhnya merugikan semua pihak. Baik laki-laki maupun
perempuan dan anak-anak.
Hidup kita menjadi
dibelenggu oleh keharusan-keharusan dan tuntutan-tuntutan bukan atas dasar
kebebasan dan ekspresi pribadi. Kenyataan juga menunjukkan sifat laki-laki dan
perempuan tidak berada pada dua kitub yang bersebrangan, ada gradasi
percampuran dan juga variasi.
Kehadiran kelompok
trangender dan interseksual, misalnya : adalah realitas yang ada dimasyarakat
dan tidak di akomodasi oleh cara pandang patriarki. Proses melakukan gender
termasuk hubunganna subordinasi perempuan telah mencengkram kuat, dilegitimasi,
peraturan dan undang-undang, ilmu pengetahuan, kebijakan serta nilai-nilai yang
diciptakan oleh masyarakat.
Dalam struktur sosial
ini, tujuan gender adalah membangun perempuan sebagai kelompok yang berbeda
dibawah laki-laki. Norma-norma gender dan harapannya ditegakan melalui
sanksi-sanksi informal atas perilaku gender yang dianggap tidak pantas oleh
kelompok, serta melalui hukuman formal oleh pemilik otoritas.
Maka kita paham,
kesenjangan gender bukan akibat dari jenis kelamin, fisiologi, hormon atau
kecenderunagn genetik. Kesetaraan gender adalah produk dari konstrusi sosial di
masyarakat, ia tidak bisa diselesaikan hanya sebatas memberi kesempatan, tetapi
cara pandang kita harus berubah.
(Robiatul
Adawiyah/Wiwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar